Kamis, 07 Januari 2016

Bandung Membungkam

Ini merupakan blog baru bagiku.  Senang rasanya jika bisa membagi semuanya.  Kali ini adalah Bandung yang akan ku ceritakan.  Bandung dengan segala kesenangan atau pun air mata di kota yang sering orang bilang kota kembang.  Atau mungkin Bandung yang kau kenal dengan macetnya di akhir pekan?

Berbagai tempat aku singgahi di sana.  Setiap tempat pasti punya cerita.  Entah suka maupun duka. Secangkir kopi menjadi teman baik untuk bercerita.  Sepinya malam menjadi indah ketika mulai mengutarakan.  Sebelum mimpi itu datang ada baiknya bermain dulu dengan kata-kata.

Langkah tersusun menyusuri sebuah jalan dengan paving block keramik.  Bangunan khas Eropa menjadi pemandangan yang menarik di tengah suasana Kota Kembang nya Nusantara.  Sebuah gedung pertunjukan film menjadi saksi, pertama kalinya aku menonton sebuah film dengan lawan jenis yang sering kita sebut "kekasih".  Masih teringat, hari itu bioskop baru buka di pagi hari. Sebuah pengalaman perdana yang tak bisa ku lupakan.  Karena untuk pertama kalinya aku pergi ke Bandung untuk menonton film di bioskop jam 10 pagi, sudah di tempat.  Aku belum sempat duduk di kursi merah gedung pertunjukan itu.  Mungkin ia sudah datang lagi kesana.

Bandung terkenal dengan beberapa urban legend.  Sebuah bangunan bekas rumah sakit zaman Belanda berada di pojokan sekitaran Dipatiukur.  Pengalaman pertamaku dengan ciptaan Tuhan yang "lain".  Aku kesana bertiga dengan kedua temanku saat aku SMA.  Saat itu, pertama kalinya aku mengendarai sepeda motor.  Pertama kalinya pula aku melihat mereka yang "lain".  Masih tergambar jelas bahwa bangunan itu pernah menjadi sarana penolong bagi yang sakit bahkan sekarat sekalipun.  Sampai saat ini semua masih ada.  Kasur pasien, ruang bedah serta kasur bayi sekalipun.  Aku naik ke lantai atas.  Mataku mengarah ke kiri, tepatnya dapur rumah sakit.  Sesosok hitam sekelibat melintas begitu cepat.  Ada yang tak kasat mata ingin menampakan dirinya.  Maha kuasa Tuhan.

Dari jalan Dipatiukur, sangat dekat dengan sebuah Jembatan layang yang sangat terkenal, penghubung antara jalan Pasteur dan jalan Surapati, Pasopati.  Pasopati yang selalu megah dengan lampunya.  Gagah dengan tegak berdiri tiang keseimbangannya.  Bandung tampak jelas seolah menampakan kawasan utara dan selatan serta barat dan timur.  Sayang sekali, disana tidak boleh parkir.  Kita hanya bisa melhat gedung yang berdiri di Bandung sambil berkendara saja.  Aku pernah mencoba menikmati Pasopati.  Caranya mudah namun harus tetap konsentrasi.  Berkendara sambil mendengarkan lagu Banda Neira.  Dingin malam sangat memeluk ketika aku menikmati Pasopati dengan cara seperti itu.

Semesta kadang membungkam namun banyak memfasilitas cerita. Seperti anggota semesta, Matahari.  Ia memberi panas.  Apalagi panas ketika banyak kendaraan memenuhi jalanan di Bandung.  Banyak yang mengeluh.  Matahari hanya mengajarkan betapa peliknya perjalanan untuk mencapai sebuah tujuan.  Tujuan untuk makan kah atau mungkin menghabiskan akhir pekan di Bandung.

Bandung mengenggam banyak cerita tentangku.  Bahkan ia bungkam soal itu.  Manusia yang banyak bercerita.  Ya, aku membagikannya,  Banyak sekali yang aku lakukan.  Apalagi ketika berkendara sendiri di Bandung.  Di balik cahay lampu kota ada renungan serta ingatan tentang segala yang pernah terjadi.  Bandung memang bungkam soalku, namun aku bercerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar